Dana Desa, BPD, dan Pendidikan Kejujuran
Power
tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely. Dalam bahasa Indonesianya kekuasaan itu
cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. (Lord
Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris)
Adagium di atas nyaris mendekati kebenaran. Masa orde baru mencatat episode kelam tata kelola negara kita. Ada banyak penyimpangan dan penyelewengan di sana-sini. Marak praktik kolusi, korupsi dan nepotisme. Hal ini terjadi karena kekuasaan berjalan tanpa ada kontrol. Penguasa berjuang untuk melanggengkan kekuasaan dan keimginannya.
Masa lalu telah
mengajari kita bahwa lembaga yang memiliki tugas kotrol dan pengawasan itu
diperlukan. Habis masa orde baru terbitlah masa reformasi. Sejak masa reformasi
muncul beberapa lembaga baru yang memiliki tugas pengawasan di berbagai lini.
Sebut saja ada Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi
pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi Yudisial, diamanahi dalam salah satu tugasnya
mengawasi perilaku hakim. Komisi Yudisial hadir agar etika peradilan
benar-benar ditegakkan. Hakim tak sembarang memainkan palu keputusan sekenanya.
Berbeda dengan Mahkamah Kontitusi, lembaga ini berfungsi memberikan kesempatan judicial
review dan penanganan sengketa pemilu agar pihak berkuasa tak sekenanya
menelorkan Undang-Undang dan aturan yang menguntungkan ke pihak penguasa
sementar merugikan kepatingan rakyat. Komisi Pemberantasan Korupsi lebih kepada
pengawasan individu yang fokus pada perilaku amoral, korupsi.
Desa Ujung Tombak Pembangunan
Narasi di atas
setidaknya mengisyaratkan kepada kita bahwa lembga pengawasan itu penting. Tak
cukup hanya dengan keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat yang kerapkali penuh
dengan kompromi politik. Mengabaikan aspek etik. Tak kalah penting untuk kita
awasi adalah pengelolaan pemerintah desa. Kita tahu sejak lahirnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang menjadi dasar hukum dari Dana Desa, desa
menjadi ujung tombak pembangunan.
Dana APBN yang
jumlahnya fantastis di transfer ke desa dalam rangka pemberdayaan dan
pembangunan desa. Tahun 2021 anggaran Dana Desa di APBN berjumlah Rp 72
triliun. Dana tersebut dibagi secara proporsional ke setiap desa dengan
pendapatan setiap desa berkisar 1 milyar rupiah pertahun. Fantastis bukan?
Namun apakah uang milyaran rupiah yang berputar pada setiap
desa di seluruh Indonesia betul-betul merubah wajah pembangunan di desa?
Terlalu kentara bukti kegagalannya untuk menjawab iya. Ada banyak fasilitas
umum yang belum baik, jalan rusak, rumah tak layak huni dan lebih-lebih soal pemberdayaan. Ada banyak
kelompok kerajinan yang belum tersentuh dan diberdayakan dan lain sebagainya.
Kondisi ideal pembagunan di desa akan terwujud jika
pemerintah desa betul-betul memberikan ruang partisipasi masyarakat dengan
jalan mengoptimalkan peran BPD. BPD diajak dan diposisikan betul-betul sebagai
mitra. Bukan sebatas kelengkapan struktur saja tanpa diberikan peran yang
terukur. Dorong BPD untuk menyerap aspirasi masyarakat sebanyak mungkin. Jika
perlu dana operasional BPD diberi lebih agar BPD gesit dan lincah menjalankan
tugasnya.
Aspirasi yang dihasilkan oleh BPD harus dihargai dengan
komitmen Pemerintah Desa untuk memperbaiki kinerja yang kurang baik. Petakan
aspirasi masyarkat dan tindak lanjuti. Jika hal ini yang dimainkan pemerintah
desa kesempurnaan nyaris akan terwjud.
BPD harus didorong untuk hidup dan bergerak. Bukan dibonsai
dan ‘ditidurkan’. BPD tidak lagi sebatas tukang stempel. Kami semua sadar bahwa untuk merubah mindset
pemerintah desa untuk melek akan peran penting BPD butuh waktu yang tak pendek.
Sandungan Menuju Qoryatun Tayyibatun wa Rabbun Gafur
Sandungan lain untuk mewujudkan qoryatun tayyibatun wa
rabbun gafur adalah peran BPD yang mulai dikurangi. Bermula sejak kebijakan
otonomi daerah pembangunan tidak lagi sentralistik. Lebih-lebih sejak adanya
Dana Desa. Desa benar-benar menjadi ujung tombak pembangunan. Pemerintah desa
tidak lagi disibukkan untuk negosiasi kanan-kiri guna membangun desanya. Dana
Desa akan turun tanpa diminta.
Perputaran dana besar di desa ini secara otomatis membutuhkan
pengawasan. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selaku lembaga yang diamanahi
pengawasan selama ini payung hukum yang ada banci. Sehingga keberadaannya
kurang menggigit.
Perubahan BPD sebagai Badan Permusyawaratan Desa dari
sebelumnya sebagai Badan Perwakilan Desa
mereduksi tugas dan peran BPD itu sendiri. Perubahan ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Sehingga banyak kalangan menilai perubahan kata Perwakilan menjadi
Permusyawaratan adalah kebiri awal bagi BPD.
Jika peran BPD sudah tak sekuat dulu bukankah ini adalah sebuah
kemunduran?
Sebelum ada Dana
Desa, peran yang diamanahkan
Undang-Undang tehadap BPD cukup kuat. Namun Saat ada perputaran dana besar di
desa peran BPD tidak lagi sekuat dulu. Apakah ini bukan berarti suatu kemunduran
nyata?
Mari kita belajar menanamkan pendidikan kejujuran pada diri kita sendiri. Para legislator dan pemerintah berkreasilah untuk hasilkan produk legislasi yang terbaik untuk kemajuan bangsa ini. Bukan legislasi maju mundur cantik ala Syahrini. Dengan kejujuran kompleksitas masalahb bangsa ini akan selesai. Wallahu A’lam
*Ketua Pengurus Daerah Persatuan Anggota Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia (PABPDSI) Kabupaten Sumenep
0 Komentar
terima kasih atas komentarnya