Header Ads Widget

Media BPD Indonesia

Headline News

6/recent/ticker-posts

Dana Desa, BPD, dan Pendidikan Kejujuran

 Dana Desa, BPD, dan Pendidikan Kejujuran

Penulis : M. Sukran Hamidy*

Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.  Dalam bahasa Indonesianya kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.  (Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris)

 

Adagium di atas nyaris mendekati kebenaran. Masa orde baru mencatat episode kelam tata kelola negara kita. Ada banyak penyimpangan dan penyelewengan di sana-sini. Marak praktik kolusi, korupsi dan nepotisme. Hal ini terjadi karena kekuasaan berjalan tanpa ada kontrol. Penguasa berjuang untuk melanggengkan kekuasaan dan keimginannya.

 Masa lalu telah mengajari kita bahwa lembaga yang memiliki tugas kotrol dan pengawasan itu diperlukan. Habis masa orde baru terbitlah masa reformasi. Sejak masa reformasi muncul beberapa lembaga baru yang memiliki tugas pengawasan di berbagai lini. Sebut saja ada Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK).

Komisi Yudisial, diamanahi dalam salah satu tugasnya mengawasi perilaku hakim. Komisi Yudisial hadir agar etika peradilan benar-benar ditegakkan. Hakim tak sembarang memainkan palu keputusan sekenanya. Berbeda dengan Mahkamah Kontitusi, lembaga ini berfungsi memberikan kesempatan judicial review dan penanganan sengketa pemilu agar pihak berkuasa tak sekenanya menelorkan Undang-Undang dan aturan yang menguntungkan ke pihak penguasa sementar merugikan kepatingan rakyat. Komisi Pemberantasan Korupsi lebih kepada pengawasan individu yang fokus pada perilaku amoral, korupsi.

Desa Ujung Tombak Pembangunan

       Narasi di atas setidaknya mengisyaratkan kepada kita bahwa lembga pengawasan itu penting. Tak cukup hanya dengan keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat yang kerapkali penuh dengan kompromi politik. Mengabaikan aspek etik. Tak kalah penting untuk kita awasi adalah pengelolaan pemerintah desa. Kita tahu sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang menjadi dasar hukum dari Dana Desa, desa menjadi ujung tombak pembangunan.

       Dana APBN yang jumlahnya fantastis di transfer ke desa dalam rangka pemberdayaan dan pembangunan desa. Tahun 2021 anggaran Dana Desa di APBN berjumlah Rp 72 triliun. Dana tersebut dibagi secara proporsional ke setiap desa dengan pendapatan setiap desa berkisar 1 milyar rupiah  pertahun. Fantastis bukan?

Namun apakah uang milyaran rupiah yang berputar pada setiap desa di seluruh Indonesia betul-betul merubah wajah pembangunan di desa? Terlalu kentara bukti kegagalannya untuk menjawab iya. Ada banyak fasilitas umum yang belum baik, jalan rusak, rumah tak layak huni dan  lebih-lebih soal pemberdayaan. Ada banyak kelompok kerajinan yang belum tersentuh dan diberdayakan dan lain sebagainya.

Kondisi ideal pembagunan di desa akan terwujud jika pemerintah desa betul-betul memberikan ruang partisipasi masyarakat dengan jalan mengoptimalkan peran BPD. BPD diajak dan diposisikan betul-betul sebagai mitra. Bukan sebatas kelengkapan struktur saja tanpa diberikan peran yang terukur. Dorong BPD untuk menyerap aspirasi masyarakat sebanyak mungkin. Jika perlu dana operasional BPD diberi lebih agar BPD gesit dan lincah menjalankan tugasnya.

Aspirasi yang dihasilkan oleh BPD harus dihargai dengan komitmen Pemerintah Desa untuk memperbaiki kinerja yang kurang baik. Petakan aspirasi masyarkat dan tindak lanjuti. Jika hal ini yang dimainkan pemerintah desa kesempurnaan nyaris akan terwjud.

BPD harus didorong untuk hidup dan bergerak. Bukan dibonsai dan ‘ditidurkan’. BPD tidak lagi sebatas tukang stempel.  Kami semua sadar bahwa untuk merubah mindset pemerintah desa untuk melek akan peran penting BPD butuh waktu yang tak pendek.

Sandungan Menuju Qoryatun Tayyibatun wa Rabbun Gafur

Sandungan lain untuk mewujudkan qoryatun tayyibatun wa rabbun gafur adalah peran BPD yang mulai dikurangi. Bermula sejak kebijakan otonomi daerah pembangunan tidak lagi sentralistik. Lebih-lebih sejak adanya Dana Desa. Desa benar-benar menjadi ujung tombak pembangunan. Pemerintah desa tidak lagi disibukkan untuk negosiasi kanan-kiri guna membangun desanya. Dana Desa akan turun tanpa diminta.

Perputaran dana besar di desa ini secara otomatis membutuhkan pengawasan. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) selaku lembaga yang diamanahi pengawasan selama ini payung hukum yang ada banci. Sehingga keberadaannya kurang menggigit.

Perubahan BPD sebagai Badan Permusyawaratan Desa dari sebelumnya  sebagai Badan Perwakilan Desa mereduksi tugas dan peran BPD itu sendiri. Perubahan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.  Sehingga banyak kalangan menilai perubahan kata Perwakilan menjadi Permusyawaratan adalah kebiri awal bagi BPD.  Jika peran BPD sudah tak sekuat dulu bukankah ini adalah sebuah kemunduran?

       Sebelum ada Dana Desa,  peran yang diamanahkan Undang-Undang tehadap BPD cukup kuat. Namun Saat ada perputaran dana besar di desa peran BPD tidak lagi sekuat dulu. Apakah ini bukan berarti suatu kemunduran nyata?

       Mari kita belajar menanamkan pendidikan kejujuran pada diri kita sendiri. Para legislator dan pemerintah berkreasilah untuk hasilkan  produk legislasi yang terbaik untuk kemajuan bangsa ini. Bukan legislasi maju mundur cantik ala Syahrini. Dengan kejujuran kompleksitas masalahb bangsa ini akan selesai. Wallahu A’lam


*Ketua Pengurus Daerah Persatuan Anggota Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia (PABPDSI) Kabupaten Sumenep

 

Artikel ini telah dimuat di harian Jawa pos radar Madura tanggal 17 Juni 2021

Editor : M Irwani 

Posting Komentar

0 Komentar